Golongan manusia di bulan Ramadhan dapat
dibagi menjadi tiga golongan: [1] Golongan yang boleh berpuasa dan
boleh tidak berpuasa, [2] Golongan yang wajib tidak berpuasa, dan [3]
Golongan yang wajib berpuasa.
GOLONGAN YANG BOLEH BERPUASA DAN BOLEH TIDAK BERPUASA
Pertama: Orang sakit
Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang memiliki penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.
Para ulama telah sepakat mengenai
bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika
sembuh, dia mengqodho’nya (menggantinya di hari lain). Dalil mengenai
hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:
Kondisi pertama
adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap
berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan,
dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk
berpuasa.
Kondisi kedua
adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama
sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak
membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan
dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga
adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa
mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Kedua: Orang yang bersafar
Musafir yang melakukan perjalanan jauh
sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan
untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang
bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih
pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam
dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Jabir mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.”
(HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115). Di sini dikatakan tidak
baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang
menyulitkan.
Kondisi kedua
adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan
untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama
untuk berpuasa.
Dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu
orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu
panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945
dan Muslim no. 1122) Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar,
maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban.
Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang
banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri
sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga
adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat
mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan
diharamkan untuk berpuasa.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan.
Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim
(suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih
berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau
mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau
pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang
mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”
(HR. Muslim no. 1114). Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa
dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang
tercela.
Ketiga: Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga Orang Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang
tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada
qodho bagi mereka. Dan menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk
memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Begitu pula orang sakit yang tidak
kunjung sembuh, maka dia disamakan dengan orang tua yang tidak mampu
melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi
makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
Cara menunaikan fidyah
Adapun ukuran fidyah adalah setengah sho’ kurma, gandum atau beras sebagaimana yang biasa dimakan oleh keluarganya (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’
no. 2772, 2503, 2689). Sedangkan ukuran satu sho’ adalah sekitar 2,5
atau 3 kg. Jika kita ambil satu sho’ adalah 3 kg (untuk kehati-hatian)
berarti ukuran fidyah adalah sekitar 1,5 kg. Cara menunaikannya adalah:
Pertama, memberi makanan pokok tadi
kepada orang miskin. Misalnya memiliki utang puasa selama 7 hari. Maka
caranya adalah tujuh orang miskin masing-masing diberi 1,5 kg beras.
Kedua, membuat suatu hidangan makanan
seukuran fidyah yang menjadi tanggungannya. Setelah itu orang-orang
miskin diundang dan diberi makan hingga kenyang. Misalnya memiliki 10
hari utang puasa. Maka caranya adalah sepuluh orang miskin diundang dan
diberi makanan hingga kenyang. Bahkan lebih bagus lagi jika ditambahkan
daging, dll. (Penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam
Majelis Syahri Ramadhan dan beberapa fatwa beliau)
Keempat: Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Jika wanita hamil takut terhadap janin
yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi
yang dia sapih karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk
tidak berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah
pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Namun apakah mereka memiliki kewajiban
qodho ‘ ataukah fidyah? Dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat
yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa cukup dengan fidyah
yaitu memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho’.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita
tua renta dan mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka
mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan,
pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus
dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi
orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu
berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat
bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh Ibnul
Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)
Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas
dan Ibnu ‘Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi
pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang
membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu’ (sebagai sabda
Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah. Wallahu a’lam.
GOLONGAN YANG WAJIB TIDAK BERPUASA
Pertama, Wanita yang Mengalami Haidh dan Nifas
Para ulama sepakat bahwa wanita haidh
dan nifas tidak sah untuk berpuasa dan mereka haram untuk puasa. Dan
setelah kembali suci, dia wajib mengqodho puasanya.
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ketika haidh, wanita itu tidak shalat dan juga tidak puasa. Inilah kekurangan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 1951). ‘Aisyah mengatakan, “Kami dulu mengalami haidh.
Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan
untuk mengqodho shalat.” (HR. Muslim no. 335)
Bagaimanakah Puasa untuk Wanita
Istihadhoh (Darahnya bukan darah haidh dan nifas, namun darah yang tidak
normal)? Wanita istihadhoh tetap memiliki kewajiban berpuasa, begitu
pula shalat berdasarkan kesepakatan para ulama.
Kedua, Orang yang khawatir jika berpuasa dirinya akan mati. Orang seperti ini wajib tidak puasa.
GOLONGAN YANG WAJIB BERPUASA
Yaitu setiap muslim, baligh, berakal, sehat (tidak sakit), bermukim (bukan musafir), wanita yang suci dari haidh dan nifas.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima. [Sumber Rujukan: Shahih Fiqih Sunnah, Al Mughni, dll.
Post a Comment