Ini kutipan dari : http://www.sabili.co.id
Assalamu'alaikum Wr, Wb.
Yang kami hormati Ustad Taufik,
Ananda ingin menanyakan beberapa hal mengenai suap/sogok dalam hukum
Islam, misalnya seseorang agar dapat diterima menjadi PNS/Karyawan
memberikan imbalan berupa sejumlah uang kepada pihak tertentu supaya
dapat lulus dan diterima menjadi PNS/Karyawan. Yang ingin saya tanyakan :
1. Apakah hukumnya suap/sogok dalam Hukum Islam (baik yang menerima
maupun yang memberi serta yang terlibat dalam sogok/suap tersebut) ?
2. Jika orang tersebut diterima sebagai PNS/Karyawan lantaran sogok tersebut, apakah Halal gaji yang terima setiap bulannya?
3. Ada beberapa teman mengatakan bahwa dosa sogok/suap, merupakan
dosa yang diampuni, jadi tidak apa-apa melakukan sogok, karena
menurutnya setelah diterima, kita dapat melakukan tobat. Bagaimanakah
menurut Ustadz dalam hal ini?
Demikian pertanyaan Ananda, mohon maaf jika terdapat kata-kata yang
kurang sopan, mohon penjelasan dari Ustad Taufik secara lengkap dan
detil, karena Ananda sangat membutuhkan pencerahan dari Ustad Taufik.
Terima kasih banyak Ananda ucapkan, atas penjelasan Ustad.
Dari Dabak di Baturaja
Jawaban:
Islam Mengharamkan Suap
Islam secara tegas mengharamkan suap atau sogok. Rasulullah saw
bersabda: ”Allah melaknat penyuap (ar-raasyi) dan yang disuap
(al-murtasyi).” Kedua belah pihak, penyuap dan penerima suap dilaknat
Allah SWT. Oleh karena itu hukum suap haram.
Kaidah Fathu Dzaraai’
Dalam Usul fikih terdapat sebuah kaidah Usul fiqih yang disebut Fathu
Dzarai’. Prinsip kaidah ini membolehkan yang haram apabila dipastikan
atau diperkirakan dalam pembolehan tersebut mewujudkan manfaat yang
lebih besar atau mencegah mafsadah. Tentunya manfaat dan mafsadah disini
menurut syariat Islam bukan menurut aturan yang lain.
Suap dibolehkan dalam kondisi tertentu.
Suap yang diharamkan dalam teks hadis diatas adalah suap yang
mengandung unsur zhalim (merugikan orang lain). Seperti menzhalimi hak
orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram
atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan yang merugikan pihak lain dan
sebagainya.
Hukum suap akan berbeda apabila tidak mengandung unsur zhalim.
Seperti mengambil sesuatu yang menjadi haknya, melakukan suap karena
untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang
sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si
pemberi suap tidak berdosa, hanya penerima suap yang mendapat dosa. Hal
ini sesuai dengan kaidah fathu dzarai’.
Apabila seseorang sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar
kemudian ia diterima. Namun nomor NIP tidak bisa keluar karena pihak
berwenang meminta sejumlah uang. Dalam hal seperti ini maka dibolehkan
bagi calon PNS tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak
berwenang agar Ia bisa mempunya NIP. Ia tidak menzhalimi siapapun, suap
tersebut hanya untuk mengambil hak dia. Ia tidak berdosa. Dosa hanya
ditimpakan kepada pihak berwenang.
Hukum Gaji dari Pekerjaan yang diperoleh dari hasil suap
An-nahyu (larangan) dalam fiqih dibagi menjadi tiga jenis. Pertama:
Larangan karena hal yang dilarang memang tidak baik, seperti mencuri,
berzina dan lain sebagainya. Kedua larangan bukan karena hal yang
dilarang tidak baik akan tetapi karena ada sesuatu yang tidak baik
menyertai hal yang dilarang, dan hal tersebut tidak terpisahkan
(mulaazim lahu). Seperti; larangan jual beli sesuatu yang tidak ada
barangnya. Larangan ini bukan karena jual belinya tapi karena barang
yang dijual tidak ada dihadapan penjual dan pembeli yang mana hal ini
bisa menimbulkan penipuan. Ketiga: larangan Karena sesuatu yang
menyertai hal yang dilarang tapi hal tersebut terpisah dari hal yang
dilarang. seperti: mengkhitbahi seorang perempuan yang sudah dikhitbah
oleh orang lain, kemudian menikahinya. Khitbah terpisah dari menikah.
Jenis pertama dan kedua apabila dilakukan maka tidak berdampak
apa-apa. Pencuri tidak memiliki barang curian, zina tidak merubah status
pezina, jual beli barang yang tidak ada dihadapan penjual dan pembeli (
bai’-al-ma’duum) tidak sah, kepemilikan barang tidak pindah ke pembeli,
juga kepemilikan uang tidak pindah ke pedagang.
Jenis ketiga berbeda dengan jenis pertama dan kedua. Jenis ketiga
walaupun dilarang namun tetap berdampak hukum. Mengkhitbah perempuan
yang sudah dikhitbah orang lain haram, namun apabila dilanjutkan dengan
nikah maka nikahnya tetap sah.
Mendapatkan pekerjaan dengan suap haram. Namun apakah gaji dari
pekerjaan yang diperoleh dengan suap juga haram? Apabila masalah kita
qiyaskan ke masalah mengkhitbah perempuan yang sudah di khitbah kemudian
menikahinya. Maka kesimpulannya adalah. Menyuap untuk memperoleh
pekerjaan haram (dengan catatan menzhalimi orang lain). Gaji yang
diperoleh dari pekerjaan tersebut tetap sah dan tidak haram. Dengan
syarat gaji tersebut diperoleh karena ia bekerja dengan baik dan
melakukan tuntutan pekerjaanya. Apabila karyawan tadi tidak melakukan
tuntutan kerja dan tidak bekerja dengan baik maka hukumnya berbeda.
Gaji tersebut tetap haram.
Berniat Taubat Sebelum Melakukan Maksiat:
Ada tiga syarat agar diterima taubatnya. Pertama: meninggalkan
maksiat, Kedua: menyesal terhadap dosa yang dilakukan, Ketiga: bertekad
untuk tidak mengulangi maksiat tersebut. Apabila seseorang berniat
taubat sebelum melakukan maksiat maka sesungguhnya ia tidak ada niat
untuk taubat, tidak mau meninggalkan maksiat, tidak menyesal dengan
maksiat tersebut dan ada niat mengulanginya.
Disisi lain apakah ia menjamin bahwa ia masih hidup ketika maksiat
itu selesai dilakukan? Tidaklah ia khawatir tidak ada kesempatan untuk
bertaubat atau ia meninggal ketika melakukan maksiat. Juga, apakah ada
jaminan bahwa Allah akan mengampuni dosanya seandainya ia melakukan
maksiat tersebut. Bisa jadi Allah SWT marah karena ia mempermainkan
hukum Allah SWT dan Allah SWT menutup hatinya kemudian ia menikmati
hasil maksiat tersebut dan menjauhkannya dari taubat. Naudzubillah min
dzalik.
Wallahu ‘Alam
Home »
» HUKUM SUAP DAN GAJI DARI PEKERJAAN YANG DIPEROLEH DARI SUAP
Post a Comment